Jumat, 12 Juni 2015

Fifty Shades of Grey, Megalomaniak dan Kelainan Seksual dalam Tubuh yang Menawan

Poster Film Fifty Shades Of Grey
Speechless. Itu yang saya rasakan setelah selesai menonton film ini. Film ini bener2gila. Segala perasaan saya campur aduk di dalamnya. Perasaan kaget, tidak percaya, dan pertanyaan yang menggayut di kepala saya dari awal sampai akhir film ini, "kok ada ya manusia yang seperti dia?"
Saya peringatkan, film ini adalah film erotis ala amerika. Saya tidak tahu apakah film ini boleh beredar di bioskop Indonesia karena contentnya yang sangat vulgar. Saya memperolehnya dari mendownload di situs yang menyediakan film2.
Film ini tergolong baru karena rilis di bulan Februari 2015. Dikeluarkan dalam rangka memperingati hari Valentine di Amerika Serikat. Para sineas film Amerika mungkin sudah bosan mengeluarkan film bergenre percintaan yang ceria, cheerfull, happyly ever after. Untuk valentine tahun ini, Hollywood mengeluarkan kisah cinta yang begitu kelam, kelabu, namun penuh gairah dan hasrat didalamnya.
Fifty Shades of Grey diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Novel karya E.L James ini masuk dalam jajaran best seller di Amerika. Berupa trilogy yang karena kesuksesan buku ini, banyak yang memperebutkannya untuk dijadikan film. Upaya untuk mengakomodir para penonton yang malas membaca bukunya dan tinggal duduk menikmati hasil karya sinematografinya.
1430983004924088435
Buku fifty shade of grey (www.glittermeup.co.uk)
Pada awal 2012, beberapa studio Hollywood telah berupaya untuk mendapatkan hak cipta pembuatan film dari Trilogi Fifty Shades kepada penulis dan agennya. Mereka antara lain adalah Warner Bros, Sony, Paramount, dan Universal, serta perusahaan produksi film Mark Wahlberg. Pilihan penulisnya akhirnya jatuh kepada Universal Pictures dan Focus Features. Mereka pada akhirnya memperoleh hak cipta untuk trilogi tersebut pada Maret 2012.
Sang penulis James berusaha untuk mengontrol produksi kreatif pembuatan film ini. E.L James memilih Produser The Social Network Michael De Luca dan Dana Brunetti untuk bergabung bersamanya sebagai produser film ini. Kelly Marcel, penulis skenario Saving Mr. Banks, terpilih untuk menulis skenario film ini. Patrick Marber yang dibawa oleh Taylor-Wood dipilih untuk memoles skenario film ini, terutama dibagian “pengkarakteran”. Universal menyewa Mark Bomback untuk penulisan skrip kedokteran, Mark Bridges dipilih sebagai perancang kostum.
Pada bulan Mei 2013, studio mempertimbangkan Joe Wright untuk mengarahkan film ini, tapi tidak berhasil dikarenakan jadwal dari Wright sendiri yang padat. Sutradara lainnya yang dipertimbangkan untuk mengarahkan film ini termasuk Patty Jenkins, Bill Condon, Bennett Miller, dan Steven Soderbergh. Pada bulan Juni 2013, E.L James mengumumkan bahwa Sam Taylor-Johnson akan menyutradarai adaptasi film ini.
Soal pemilihan peran, juga tidak kalah hebohnya. Sederet artis dan aktor papan atas dipertimbangkan untuk memerankan tokoh di film ini. Top list teratas adalah mantan pasangan di box office film The Twilight Saga, yaitu Robert Pattinson dan Kristen Stewart. Ada pula sederet nama lainnya. Untuk sang aktor ada nama ryan gosling (notebook) dan jake gyllhenhaal (love and other drugs). Sementara daftar nominasi pemeran wanitanya, terdapat nama-nama seperti Mila Kunis (Friends with Benefit), Alicia Vikander, Imogen Poots, Elizabeth Olsen, Shailene Woodley, dan Felicity Jones.
1430982850906637863
Para kandidat pemeran utama (www.glittermeup.co.uk)
Jika sedemikian hebohnya untuk pemilihan semua tim produksinya, sesungguhnya, filmnya seperti apa sih?
********************************* 
Adalah Anastasia Steele (Dakota Johnson), mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Universitas Vancouver yang diminta teman sekamarnya untuk menggantikan dia mewawancara tokoh paling sukses di Seattle, Chrstian Grey (Jamie Dornan). Teman sekamarnya sedang sakit, sedangkan wawancara itu begitu penting karena akan digunakan sebagai sumber untuk koran kampus. Christian Grey dianggap salah satu alumni kampus tersebut yang telah berhasil membangun bisnisnya diusianya yang masih sangat muda.
Berbekal daftar pertanyaan yang telah dibuatkan oleh temannya, Ana (panggilan anastasia) bergegas menemui Christian di kantornya di Gedung GreyHouse miliknya. Sebagai seorang cewek yang lugu dan polos, dari awal kedatangannya, dia telah begitu terintimidasi. Oleh gedung yang mewah, oleh pegawai yang tinggi dan cantik serta berbusana yang menarik. Namun ternyata itu hanya sebagian kecil dari intimidasi yang akan diterimanya.
Ketika bertemu langsung dengan Christian Grey, dia begitu terpesona. Sesungguhnya siapa yang tidak akan terpesona dengan Grey? Dia tampan, dia lajang, dia kaya, dia sukses, dan dia ramah. Wanita manapun pasti akan langsung terpana dan jatuh cinta.
Bagaimana halnya dengan Grey? Sang Bujangan Idaman? Di luar dugaan, dia mengalami rasa ketertarikan yang sama seperti dirasakan Anastasia. Dia melihat Anastasia berbeda dengan wanita lainnya. Wanita yang mampu melihat jauh kedalam hatinya yang tidak ditemukan pada wanita lainnya. Ketika semua orang melihatnya sebagai sosok yang tidak punya hati, tiba2ada seorang wanita yang polos mengatakan dia memiliki hati yang sangat besar tanpa dia sadari. Namun, Grey sadar betul siapa dirinya.
Ketika cinta mulai menyapa, siapa yang bisa menolaknya? Bahkan seorang Grey sekalipun yang telah menerapkan batasan2disiplin yang keras dalam hidupnya. Pun ketika dia berusaha menolah gejolak Anastasia, dia menyerah dalam keinginannya yang lebih besar dengan mendekati Ana. Dia juga memperingatkan Ana untuk tidak terpesona olehnya, untuk tidak tertarik kepadanya, untuk tidak mendekatinya, dan untuk segera menjauhinya.
Diluar dugaan Ana malah mendekat dan menyatakan diri tidak takut terhadap apapun yang dikhawatirkan Christian. Wanita itu seakan dengan sukarela, menawarkan diri untuk menjadi wanitanya dengan segala konsekuensi. Sebagai bentuk rasa cintanya, mulailah dia melimpahi Ana dengan hadiah. Novel Edisi Pertama, Laptop Apple, dan Mobil. Belum tercatat makan malam di Seattle dengan menggunakan helikopter atau bermain paralayang di udara.
Namun siapkah Ana jika dia menampilkan sosok kelam dari dirinya?
********************************** 
Saran saya?tonton sendiri film ini dan nikmati sensasinya. Mari kita skip bagian erotisnya. Oh ya, seperti yang saya sampaikan diatas, ini film memang tentang erotisme. Ada banyak adegan pornografi di dalamnya. Karena sesungguhnya esensi film ini terletak pada erotisme tersebut.
Kenapa saya katakan skip bagian erotisme nya? karena erotisme dalam film itu bisa dipandang sebagai sesuatu yang biasa saja (bagi para laki2penggemar film warna biru) atau sebagai sesuatu yang sangat luar biasa (bagi para wanita yang belum pernah menonton film biru). Yang pasti film ini hanya layak ditonton oleh pasangan yang sudah menikah atau lajang yang sudah sangat cukup usia. Saya tidak menyarankan untuk ditonton bersama keluarga (dengan anak kecil didalamnya) apalagi ditonton bersama keluarga besar ;p
Film atau novel ini begitu memikat karena berbicara tentang megalomaniak dan penyimpangan seksual dalam satu waktu. Buat yang belum tahu tentang megalomaniak, berikut pengertian KBBI Online; cenderung mempunyai keinginan menjadi (orang) besar; 2 a mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan; Menurut Berthan Russel, megalomaniak berbeda dengan narsis (sama2penyakit ingin menonjolkan diri sendiri). Seorang penderita megalomaniak lebih suka dianggap powerfull dibandingkan mempesona. Lebih suka ditakuti daripada dicintai.
Dalam kasus ini, diawali dari kehidupan masa kecil yang keras, sang tokoh dihadapkan pada kondisi dia merasakan kekuatan yang luar biasa dari kebiasaan seksualnya yang menyimpang. Dengan kekuatan yang dia miliki, dia bisa dan sangat mampu menghadirkan atau meniadakan orang-orang untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Pertanyaan yang dihadirkan dalam kisah ini adalah? Bagaimana ketika cinta menyapa? Sanggupkan dia sembuh dari penyimpangan seksualnya? Apakah cinta bisa mengubahnya? Ataukah tidak?
Itulah konflik yang terasa hadir disepanjang film ini diputar. Film ini benar2film yang dark. Pemilihan judulnya juga bermakna ganda. Fifty Shades of Grey memang bisa diartikan sebagai 50 bayangan dari Grey -nama sang tokoh-, namun bisa juga diartikan 50 bayangan kelabu. Karena kata Grey biasa digunakan untuk menggambarkan warna kelabu. Situasi yang sangat menyedihkan. Bukan horor, tapi kelam. Pemain yang dipilih menurut saya juga unpredictable. Bukan pemain kelas A Hollywood (semacam brad pitt, george clooney dll), bahkan juga bukan pemain kelas B pula (seperti ryan gosling atau jake gylhenhaal). Tapi malah pemain kelas C. Artinya, pemeran utamanya masa kariernya belum lama, dan baru mendapatkan peran2kecil dari film2kecil atau serial televisi.
Pemerannya begitu tidak terkenal. Saya baru melihat wajah mereka pertama kali di film ini. Namun justru itu sepertinya yang diinginkan sutradara dan produsernya. Mereka ingin pemain yang fresh. Pemula. New Comer. Dan meskipun mereka menuai kritikan dari banyak pihak saat pre-produksi tentang pemain yang mereka pilih, produksi tetap berjalan, Dan terbukti mereka tidak salah dalam memilih kedua pendatang baru itu (Dakota Johnson dan Jamie Dornan) untuk memerankan tokoh sentralnya.
Mereka berdua memiliki chemistry yang bagus sekali. Pada awal film saya merasa mungkin ryan gosling akan cocok memainkan peran ini. Namun ketika film berjalan ketengah, saat sang tokoh menunjukkan sisi gelap dirinya, saya sadar kenapa sang sutradara tidak memilih ryan gosling. Karena ryan gosling terlalu white. Dia tidak akan bisa menjadi tokoh yang gelap didalam namun tetap mempesona diluar. Jamie Dornan mampu melakukan itu dengan baik. Dengan garis rahang yang kuat dan tubuh kokoh serta suara dalam, dia mampu menghadirkan sosok Christian Grey, lajang sukses yang misterius namun mempesona dengan natural.
Sementara untuk dakota johnson, saya tidak bisa menemukan pengganti aktris manapun yang mampu memerankan tokoh ini selain dirinya. Wajahnya benar2menunjukkan sosok yang rela memasrahkan diri kepada sang lelaki pujaan hati. Begitu polos. Meski demikian dibalik kepolosan itu tersimpan kekuatan yang membuat laki2sekuat apapun untuk tunduk dan patuh kepadanya.
Akhir yang sangat2menggantung dari film ini sangat menyesakkan dada. Meninggalkan begitu banyak tanya. Setidaknya bagi saya. Pertanyaan seperti apakah Christian akan berubah? Apakah mereka akan bisa bersatu dan bahagia selamanya? Apakah ini mungkin cara sang sutradara untuk membuat sekuelnya?
Untuk pemasaran film, tim produksi melakukan hal yang tidak tanggung2. Poster film ini dirilis tiga kali pada tahun 2014 sebagai bentuk pemasaran. Pada 25 Januari 2014 mengedarkan poster di 5 tempat berbeda di Amerika Serikat dengan menunjukkan kata “Mr. Grey will see you now” (Tn. Grey akan melihat Anda sekarang).
Pada 14 Februari 2014 tepat setahun sebelum perilisan, poster film tentang Johnson sebagai Anastasia dirilis. Pada 18 Juni 2014, akun twitter resmi dari film ini merilis poster Dornan sebagai Christian sebagai bentuk penghargaan atas ulang tahun Christian pada tanggal tersebut.
Pada tanggal 9 Juli 2014, penulis buku, E.L. James, mengumumkan di akun resmi Twitternya bahwa trailer film ini akan dirilis pada 24 Juli 2014. Beyonce memulai debut teaser untuk trailer di akun resmi Instagramnya 5 hari sebelum trailer resmi dirilis.
Dan pada perilisan trailer Dornan dan Johnson berada di The Today Show untuk menyajikan bagian yang sesuai dari trailer untuk acara televisi pagi; sebuah trailer penuh yang berisi adegan lebih bersemangat dirilis kemudian pada hari yang sama di internet. Trailer ini adalah versi baru dari lagu “Crazy in Love” oleh Beyonce, yang mengatur dan menyusun ulang lagu tersebut bersama kaloboratornya, Boots.
Trailer ini berhasil mengumpulkan 36.400.000 penonton di minggu pertama perilisannya, membuatnya sebagai trailer dengan penonton terbanyak di 2014, sampai rekor ini dikalahkan oleh trailer Avengers: Age of Ultron, pada bulan Oktober 2014. Pada bulan Desember 2014 trailer ini memecahkan rekor sebagai trailer yang paling banyak ditonton pada 2014 dengan 93 Juta tampilan dalam 4 bulan pertama peluncurannya.
Akumulasi penonton trailer ini lebih dari 100 juta tampilan pada minggu pertama perilisan dari saluran dan situs web yang berbeda, menjadikannya trailer dengan penonton terbanyak di minggu pertama perilisannya dalam sejarah. Trailer kedua dari film ini dirilis pada 13 November 2014
Mungkin hal sama yang saya rasakan,dirasakan juga oleh penonton di Amerika sana. Menurut situs penjualan-tiket, Fandango, Fifty Shades of Grey menjadi film dengan rating R yang paling cepat terjual tiketnya dalam sejarah 15 tahun situs ini berdiri, melewati rekor sebelumnya yang dipegang oleh Sex and the City 2.
Fandango juga melaporkan bahwa tiket ini telah habis terjual seperti film hits dengan rating R lainnya yakni Hangover kedua dan Gone Girl. Ia juga meraih rekor film dengan penjualan tiket terbesar diminggu pertamanya untuk film tanpa-sekuel, mengalahkan rekor film yang dipegang The Hunger Games (2012).
Karena permintaan besar untuk film ini maka pemilik teater diseluruh Amerika Serikat menambahkan jam tayang baru. Prediksi awal untuk penjualan minggu pertama film ini akan meraih keuntunggan antara US$40Juta – US$50 juta di akhir pekan pertama perilisannya.
Nah, jadi penasaran untuk menontonnya?

Write with love
Miss Vee


Inspired you? Please Like, Share And Comment for other people that you loved ;) 

PS : kalian dapat menikmati blog saya yang lainnya dengan mengunjungi laman di bawah ini
4. http://devika-jalanjajannongkrong.blogspot.com/

Kamis, 30 April 2015

3 Idiots: Kritik Keras untuk Dunia Pendidikan (India)

Poster Film 3 Idiots

Semalam saya menonton film India yang berjudul 3 Idiots. Saya mendapat permintaan khusus dari teman terkasih Angga Suanggana untuk meresensi film ini. Dengan senang hati saya menerima tantangan tersebut. Selain karena Angga adalah orang yang istimewa di hati (ciyeeeee), juga karena saya memang suka dengan film ini.

3 Idiots memang bukan film yang baru rilis. Semalam juga bukan pertama kali saya menontonnya. Namun meski ditonton berkali-kali pun, tetap saja selalu meninggalkan kesan yang mendalam di hati. Apalagi kalau bukan karena kelucuannya dan pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara.

Sesungguhnya saya bukan penggemar film India. Film India yang pernah saya tonton bisa dihitung dengan jari. Ada faktor khusus mengapa saya akhirnya mau menonton film Bollywood. Biasanya karena sang aktris atau aktornya. Saya (agak) suka dengan Shahrukh Khan, Kajol, dan Amitabh Bachchan. Namun tidak semua film yang dibintangi mereka pun saya tonton. Hanya sebagian kecil saja seperti Kuch-kuch Hota Hai, Kabhi Kushi Kabhi Ham, Mohabbatein dan yang agak baru: My Name is Khan.

Hal ini tentu agak berbeda dengan penggemar film India. Saya ingat semasa SMP, saya pernah punya teman yang sangat Indiaholic. Semua film India di televisi tak pernah terlewat. Layaknya Korean Wave yang sekarang melanda, zaman saya SMP adalah era India Wave. Ada stasiun televisi –yang jadi rebutan antara Mba Tutut dan Hery Tanoe, yang selalu menayangkan film-film India setiap harinya.

Nah, kembali ke film 3 Idiots. Pertama kali menonton film ini saya masih berada di Depok. Saya direkomendasikan oleh mantan untuk menontonnya. Dia bilang itu film bagus. Awalnya saya agak ragu karena itu film India dan tidak dibintangi oleh Shahrukh Khan. Namun karena dia pecinta film-film bermutu, maka saya menuruti untuk menontonnya.

Dan benar saja, saat saya menontonnya, hati saya benar-benar meleleh. Film ini, bagus. Saya kehilangan film itu saat saya berpisah dengan mantan, dan baru mendapatkan kembali copy film dari seorang teman akhir-akhir ini. Rasanya begitu senang tak terkira. Sudah dua kali saya menontonnya pasca-mendapat copy film itu. Ketika Angga request, dengan senang hati saya menonton untuk ketiga kalinya.

Adalah Rancho (diperankan oleh Aamir Khan), Farhan (R. Madhavan), dan Raju (Sharman Joshi), 3 sahabat yang kuliah di Imperial College of Engineering (ICE). Kampusnya mirip-mirip dengan ITS dan ITB. Sesuai namanya, kampus ini khusus mempelajari tentang teknik. Mereka mengambil jurusan teknik mesin.

Jalan kisah film ini sesungguhnya sederhana. Berkisah tentang suka duka masa kuliah. Setelah lulus, mereka berkarir masing-masing sesuai dengan bidang yang mereka sukai. Sudah itu saja. Namun dari kesederhanaan tersebut, sang sutradara menyelipkan banyak sekali pesan-pesan moral sekaligus kritikan akan dunia pendidikan di India.

Film ini oleh sang sutradara, Vidhu Vinod Chopra, dibuat menggunakan alur maju mundur. Kebanyakan flashback yang diambil dari sudut pandang orang kedua. Artinya, sang narator bukanlah pemeran utamanya. Kisah ini memang menggunakan narator yang membacakan narasi untuk menyambungkan kisah yang maju mundur itu agar penonton tidak bingung. Karena menggunakan alur maju mundur itu, mungkin penonton tidak sadar bahwa sesungguhnya film itu hanya kisah dalam satu hari.

Ya, hanya kisah satu hari. Film ini dibuka di pagi hari oleh Farhan yang mendapat telepon mendadak dari teman kuliahnya dulu, Chatur. Karena telepon ini, dia bahkan nekat berupaya menghentikan pesawat yang dia tumpangi supaya bisa kembali ke bandara. Dia bahkan membajak seorang penjemput agar mau mengantarkannya menemui, Raju.

Mereka begitu antusias untuk pergi ke kampus karena berita yang disampaikan Chatur, yaitu kedatangan Rancho. Kedua sahabat ini memang kehilangan Rancho pada saat wisuda. Pasca-wisuda itu, Rancho memang menghilang bak ditelan bumi. Hingga 5 tahun pun telah berlalu. Maka, betapa senangnya mereka membayangkan pertemuan dengan sahabatnya itu.

Betapa kagetnya mereka berdua saat sampai di atap gedung kampus. Bukan Rancho yang ada, namun hanya Chatur. Tidak sampai disitu kejengkelan mereka, karena Chatur akhirnya pamer kekayaan yang berhasil dia miliki hasil dari pekerjaannya.Tentu saja tindakan Chatur itu membuat mereka marah bukan kepalang. Karena mereka berdua sudah melakukan hal gila: menghentikan pesawat, membajak penjemput hingga keluar rumah tanpa celana, agar bisa menemui Rancho secepat mungkin.

Chatur berupaya menenangkan sahabat-sahabatnya itu dengan memberitahu kabar tentang keberadaan Rancho di Shimla. Maka, berangkatlah mereka bertiga menuju Shimla. Dalam perjalanan itulah, alur maju-mundur serta narasi ceritanya dimulai.

Saya tidak akan bercerita tentang keseluruhan filmnya, karena lebih nikmat jika menonton sendiri. Saya hanya akan membahas aspek-aspek dalam film ini yang bisa kita cermati. Kita ambil moral ceritanya. Jika memungkinkan bisa kita aplikasikan untuk kehidupan kita sehari-hari.

Dalam narasi itu memang diceritakan bagaimana istimewanya seorang manusia bernama lengkap Ranchoddas Shamaldas Chanchad dari sudut pandang Farhan. Pertemuan mereka, kecerdasan Rancho yang luar biasa, hingga kegilaan-kegilaan yang mereka lakukan selama masa kuliah. Kegilaan yang akhirnya membuat mereka harus berhadapan dengan sang rektor, Viru Sahastrebuddhe. Mereka pun memplesetkan menyebut nama rektor dengan Virus.

Meski film ini bergenre komedi romantis, namun pesan yang ingin disampaikan cukup berat. Melalui naskah yang ditulis oleh Rajkumar Hirani, film ini sebenarnya mengkritik sistem pendidikan di India. Saya memang tidak banyak tahu mengenai pendidikan di India. Saya sedikit terbantu oleh seorang teman Indonesia yang pernah kuliah disana.

Menurut teman saya, India adalah sebuah negara yang paradoks. Negara itu kaya akan sumber daya alam, tetapi lebih dari 40 persen penduduknya hidup dengan penghasilan di bawah 1 dollar AS per hari. India juga memiliki begitu banyak ahli bidang teknik. Sejumlah 30 persen dokter, para pekerja teknologi informasi serta ahli teknik menguasai perusahaan-perusahaan penting di AS.

Banyak orang India menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Namun, hampir 40 persen atau lebih dari 350 juta orang dewasa di India buta huruf. Hampir 40 persen anak putus sekolah setelah kelas lima. Dan, lebih dari 55 persen anak putus sekolah setelah kelas delapan. Ini menjadikan Indeks Pembangunan Manusia India berada di peringkat 127, jauh di bawah Indonesia yang berada di peringkat 111.

Kemajuan India dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah diakui dunia. Negara itu telah melahirkan sejumlah pemenang Nobel: Amartya Sen (ekonomi), Subrawanian Chandrashekar dan Chandrashekar Venkataraman (fisika), Hargobind Khorana (kedokteran). Dua warga India lainnya, Bunda Theresa memenangi Nobel Perdamaian dan Rabindranath Tagore di bidang sastra.

Mereka serius dalam menangani bidang pendidikan khususnya sekolah tinggi teknik. Hal ini terlihat dari munculnya sekolah tinggi teknik milik pemerintah yang didanai penuh untuk mengembangkan teknologi di India. Lulusannya diperhitungkan di pasar kerja tingkat dunia. Kumpulan para profesional di bidang teknik, khususnya teknologi informasi, menyerbu AS.

Sekitar 30 persen pekerja perusahaan perangkat lunak raksasa Microsoft di AS berasal dari India, meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen. Tidak sedikit pula ahli sains dan teknologi dari India menjadi pengajar di universitas top AS. Para profesional teknik dari India cukup diperhitungkan di tingkat dunia.

Dari penjelasan teman saya itu, saya jadi memahami lebih jelas apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh pembuat film ini. Pemerintah India seakan ingin mencetak sebanyak-banyaknya tenaga ahli utamanya di bidang teknik. Hal ini saya yakin juga sejalan dengan pemikiran intitut atau sekolah tingginya. Karena saking getolnya, mereka kadang menekan mahasiswa terlalu keras.

14229805611354850606
Virus, sang rektor

Dalam film itu, kekerasan pihak pemerintah dan kampus diwakilkan pada tokoh rektor (Virus) yang digambarkan sebagai seorang yang sangat kompetitif, tidak mau dikalahkan oleh siapa pun dan tidak punya hati. Virus beranggapan bahwa hidup itu adalah perlombaan. Bahwa siapa saja yang tidak cerdas dan cekatan, dia akan dikalahkan oleh yang lainnya dan tidak dapat bertahan hidup. Bahkan karena kekerasan sikapnya, ada mahasiswanya yang bunuh diri, termasuk juga Raju yang mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai 3 gedung kampus.

Tokoh Rancho memiliki otak luar biasa tetapi dia kritis terhadap kebijakan sang rektor. Banyak adegan-adegan yang menggambarkan bagaimana Rancho berusaha memberikan masukan kepada Virus mengenai cara mengelola sebuah institusi pendidikan.

Berbagai kutipan tersebar di hampir keseluruhan cerita. Seperti: “statistik menunjukkan bahwa setiap satu setengah jam, ada 1 pelajar di India yang bunuh diri. Mati bukan karena sakit, namun karena bunuh diri. Ada sesuatu yang tidak benar. Dalam sistemnya. Disini kami tidak boleh membicarakan sesuatu yang terkait dengan terobosan baru, tidak ada penemuan baru. Hanya omong besar besar, nilai, atau paling bagus, bekerja di perusahaan di Amerika. Kami bahkan tidak diajarkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, kami hanya diajarkan untuk mendapatkan nilai bagus”

Ada juga seperti: “Universitas adalah lembaga pendidikan bukan panci press cooker.” Atau pernyataan: “Kita memang harus belajar serius, tapi tidak sekedar untuk lulus. Jangan belajar hanya untuk menjadi sukses tapi untuk membesarkan jiwa. Jangan mengejar kesuksesan, tapi kejarlah kesempurnaan, maka sukses akan mendampingimu.”

Melalui pernyataan-pernyataan itu, Vinand Copra seakan ingin menegaskan tentang apa yang ingin dia sampaikan. Meski kritik tersebut disampaikan dengan bumbu komedi, namun ada keseriusan yang mendalam. Hal tersebut bisa dipahami karena pendidikan memang topik yang sangat sensitif di India.

Namun Vinand Copra lihai menjaga emosi penonton. Dia memberi warna romantisme dalam cerita. Seperti layaknya film India pada umumnya, adegan menari dan menyanyi tentu tidak boleh terlewatkan. Dalam film itu memang dikisahkan bahwa Rancho justru jatuh cinta setengah mati kepada anak sang rektor yaitu Phia (Kareena Kapoor). Phia adalah seorang calon dokter yang memiliki sifat keterbalikan dengan sang ayah. Selain menawan, dia juga memiliki jiwa humanisme yang sangat tinggi.

Pada kisah percintaan pun tak lepas disisipkan pesan moral kepada para wanita yang menonton. Bahwa, berhati-hatilah dalam memilih pasangan. Jangan memilih pasangan yang suka menilai segala sesuatunya dengan materi. Karena dia akan lebih mirip keledai daripada manusia.

Film ini secara keseluruhan sangat memukau. Sang sutradara dan penulis berhasil memasukkan pesan moral dan kritikan dengan halus sehingga siapapun tidak akan merasa sakit hati (hanya mungkin sedikit tersindir ;p). Kolaborasi keduanya berhasil memasukkan unsur karakter dan pemilihan waktu cukup detil.

Unsur karakter misalnya. Tiga tokoh utama adalah perwakilan dari setiap kelas masyarakat India. Racho dianggap mewakili orang-orang yang cerdas, kritis serta idealis. Kodrat orang semacam ini sepertinya selalu dibenci oleh kelompok lain yang terganggung. Raju merupakan perwakilan karakter dari kelompok yang selalu takut kepada Pemerintah. Sehingga selalu menuruti apa yang diperintahkan.

Pemilihan tokoh Farhan sebagai narator, menurut saya juga adalah sebuah pilihan yang cerdas. Bukan hanya sebagai unsur sinematografinya, tapi orang semacam Farhan justru mendominasi sebagian besar manusia di bumi ini. Farhan adalah perwakilan dari orang-orang yang tidak punya sikap. Kelompok yang akan selalu melangkah mengikuti arah angin. Tidak kritis, tidak ada ketakutan. Hanya keacuhan atau menerima segala sesuatu sebagai hal yang harus dijalani dalam hidup.

1422980668303285478
Chatur, tokoh antagonis

Tokoh antagonis selain sang rektor adalah Chatur. Dia digambarkan sebagai seorang yang bersedia melakukan apapun agar keinginannya tercapai. Dia tidak segan-segan menggunakan berbagai cara, termasuk cara yang tidak fair sekalipun agar bisa memenuhi hasratnya. Sayangnya di sini dia digambarkan selalu kalah dengan Rancho. Mungkin itu adalah harapan sutradara, agar orang seperti Chatur bisa dikalahkan oleh orang seperti Rancho.

Tentu saja film ini memiliki beberapa kekurangan. Yang utama adalah banyaknya adegan minum anggur dan mabuk. Di India memang tidak ada larangan untuk mabuk. Tapi tentu akan berpengaruh saat film ini diputar di Indonesia.

Ada juga satu scene yang awalnya tampak seperti siang hari, saat Rancho bertemu Phia. Mereka hanya mengobrol sebentar, lalu tiba-tiba suasana berganti malam. Ini mungkin sepele. Tapi bagi saya yang sudah menonton tiga kali, merasa aneh melihatnya.

Film ini dirilis pada 25 Desember 2009, yang diangkat dari novel Five Point Someone karya Chetan Bhagat. Film ini dibuat sejak 28 Juli 2008. Pembuatan film di kota Delhi, Bangalore, Mumbai, Ladakh dan Shimla. Setting tempat yang menggambarkan universitas berada di Indian Institute of Management, Bangalore, dalam waktu 33 hari.

14229807411641028485
Aal izz well, mantra yang mujarab

Meskipun telah enam tahun berlalu semenjak film ini dirilis, ada satu pesan moral utama yang tidak akan lekang oleh zaman. Pesan itu dituturkan oleh Rancho :

“Saat kamu sedang merasa sedih, takut dan gelisah, letakkan tanganmu di dada dan bilanglah “aal izz well”. Karena sesungguhnya hati kita pengecut dan mudah dikelabui. Jika ada masalah dalam hidupmu, katakan pada hatimu semuanya akan baik-baik saja. Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, namun paling tidak memberi hati kita kekuatan untuk mampu bertahan.”

Write with love
Miss Vee

Inspired you? Please Like, Share And Comment for other people that you loved ;) 

PS : kalian dapat menikmati blog saya yang lainnya dengan mengunjungi laman di bawah ini

5 cm vs Jivans; A Story about relationship

poster film 5 cm

Saya baru aja selesai nonton film 5 cm. Agak telat sih. Karena film ini udh diputar di awal tahun ini kalo gak salah. Saya emang termasuk tipe manusia jadul, yang agak selalu ketinggalan alias ga updet hal2baru terutama tentang musik dan film. Oh ya, tentu saja saya tidak menontonnya di bioskop. Tidak juga di kaset vcd atau dvd bajakan pastinya , trus liat dimana dong?

Hahahaha buat yang sering melakukan hal yang sama, pasti bisa menebak. Yup, saya menonton dari file film yang saya copy dari temen adik saya. Dia mendapatkannya dengan cara mengunduh alias download dari internet. Jadi tidak jelas sebenarnya, mana yang lebih baik atau lebih ironi, membeli dan menonton vcd/dvd bajakan, atau download dari sumber gratisan, minta pula ;p, bener2ga pake usaha ya? hahahaha

Btw, saya gak akan bahas secara detail filmnya, karena saya yakin, seperti yang sudah saya bilang diatas, pasti sudah banyak yang menontonnya. Saya hanya akan membahas secara ringkas sinopsis ceritanya, buat yang belum nonton, buat para manusia jadul yang setipe dengan saya

Tersebutlah ada 5 orang manusia yang tergabung dalam 1 genk. Empat cowok dan satu cewek. Nama mereka adalah Genta (diperankan oleh Fedi Nuril), Zafran (Herjunot Ali), Ian (SAYKOJI), dan Arial (Deny Sumargo) serta Riani (Raline Shah). Mereka ber5, secara rutin dan berkala, selalu ketemuan setiap weekend. Nongkrong bareng. Seringnya di rumah si Arial karena Zafran naksir sama adik Arial yang bernama Arinda (Pevita Pearce).

Pada salah satu kesempatan itu, pada akhirnya mereka merasa jenuh dan bosan dengan pertemanan mereka, dan memutuskan untuk berhenti bertemu terlebih dahulu sekitar 3 bulan. Si Genta (yang berprofesi sebagai event organizer) berjanji, pada akhir bulan ke 3 mereka tidak bertemu, dia menjanjikan sebuah pertemuan yang tidak biasa. Dia merencanakan sebuah perjalanan yang tidak bisa ditebak oleh seorang pun dari mereka.

Maka dimulailah hari tanpa pertemuan. Mereka mencoba membuat aktivitas yang berbeda seperti yang biasanya mereka lakukan. Ian yang tak kunjung lulus kuliah, mencoba merampungkan skripsinya selama 3 bulan itu. Genta, yang berada dalam satu manajemen EO dengan Riani, melakukan aktivitas pekerjaan tanpa keikutsertaan Riani dalam timnya untuk sementara. Arial mencoba pedekate dengan seorang wanita, meski itu merupakan pekerjaan tersulit baginya. Zafran mencoba semakin intens mendekati adik Arial. Sementara Riani pun berkutat dengan kegalauan karena dia sesungguhnya mencintai salah satu dari sahabat dekatnya itu.

Mereka sesungguhnya saling merindu satu sama lain. Sehingga tepat 1 minggu sebelum tanggal yang disepakati untuk pertemuan, yaitu tanggal 7 Agustus, ketika Genta mengabari mereka melalui pesan teks (ga tw BBM/SMS/WA/Line, cos hape mereka beda2. Ada yang pake BB, tapi ada yang pake I-phone juga. tapi kayanya ga ada yang pake hape cina hehehe, tambahan informasi yang gak penting ;p), agar mereka melakukan persiapan dan membawa barang yang harus ada dalam list mereka, mereka sangat excited sekali sekaligus penasaran, kemana sesungguhnya mereka akan pergi.

Tanggal 14 Agustus mereka bertemu di Stasiun Gambir. Tempat yang telah mereka sepakati bersama. Bahkan saat naik kereta ekonomi yang menuju ke Malang, mereka masih belum mendapat jawab dari Genta, kemana ia akan membawa mereka. Sesampainya di Malang mereka dijemput oleh sebuah pickup kecil. Dan baru setelah melalui separuh perjalanan menuju lokasi yang hendak mereka tuju, Genta mengatakan kemana mereka akan pergi. Dia menginformasikan dengan telunjuk tangannya. Di Depannya terhampar luas pemandangan Gunung Semeru. Gunung tertinggi di Jawa.

Lalu bagaimana akhirnya?apakah mereka sampai di puncak atau tidak? apakah semua selamat atau ada yang meninggal? Layaknya sebuah thriller film, karena fokus tulisan saya bukan pada filmnya, dan saya pun ingin menggugah rasa keingin tahuan dari pembaca sekalian yang belum menonton film ini, maka saya memang dengan sengaja tidak memberikan jawab dari pertanyaan diatas;)

Ada banyak aspek yang ingin saya bahas dan ceritakan disini. Yang pertama tentu mengenai kualitas filmnya. Dan karena ini film besutan sutradara Rizal Mantovani, maka saya rasa sudah tidak perlu lagi diragukan hasil karyanya. Saya salut dengan detil tanggal yang ia perhatikan betul. Tanggal/waktu pada cerita seringkali diabaikan seperti di film2kelas dua (gak begitu bagus maksudnya), sehingga menyebabkan kisah menjadi bias. Namun tidak demikian halnya dengan Rizal. Dia menginformasikankan secara berkala informasi mengenai waktu dalam cerita secara mendetail. Bahkan dia sengaja mengambil satu shoot dimana Zafran melihat jam tangan digitalnya yang menunjukkan hari, tanggal dan jam peristiwa berlangsung.

Para pemain film 5 cm

Rizal memang sutradara yang terkenal memperhatikan detil. Sehingga cerita yang berjalan begitu lancar tanpa ada tanda tanya yang ditinggalkan untuk penontonnya. Bahkan untuk kisah cinta yang ia ramu didalamnya juga benar2tidak tertebak. Dan saya sangat menghargai itu. Diantara banyaknya film2Indonesia yang sangat mudah ditebak endingnya, Rizal melawan arus dengan memberikan kejutan di akhir cerita. Apa itu?tonton sendiri dong ;p

Apakah sampai disitu kisah yang saya ingin bahas?oh tidak. Itu baru awalnya. Pembukanya. Karena kisah yang akan saya tulis adalah kisah yang baru akan saya mulai ini.
Melihat film ini saya rasanya seperti melihat kisah hidup saya sendiri. Flashback kebelakang. Jika menurut orang yang pernah hadir istimewa di hati saya, film ini membuatnya ingin kembali ke Semeru. Oh dia memang pecinta alam sejati. Hobinya memang naik gunung yang sayangnya, pada masa kami masih bersama, saya tidak pernah bisa mengikutinya naik gunung. Bukan apa2, saya merasa gamang aja dengan berat saya sekian (tttiiiiitttt sensor), apakah saya bisa mencapai gunung tanpa harus menyusahkannya.

Eits kok jadi bahas mantan saya, katanya sudah move on hihihi, ya sudahlah, kita skip cerita tentang dia. Nah, seperti saya bilang diatas, saya seperti melihat kilas balik kehidupan saya. Jangan salah, semasa SMA dulu, saya juga punya genk lho. Berlima juga. Bedanya, kami 3 cewek dan 2 cowok. Mereka adalah Angga WirayudhaIkrar Prasetio WongsokertoNovi Indria, saya dan Yuana. Nama genk kami adalah JIVAN’S, kependekan dari singkatan nama kami, jo (panggilan kami untuk yuana), ikrar, vika, nopi dan anggi (panggilan untuk angga).

Cikal Bakal Jivans Club

Kalo mereka sudah 10 tahun bersama, maka kami tercatat telah 17 tahun bersama jika dihitung dari pertama kali kami saling mengenal di kelas 1. Jika mereka setiap weekend bertemu, maka kami bahkan lebih ekstrim dari itu. Pada awal kami terbentuk, kami bahkan bisa bertemu setiap hari tanpa merasa bosan. Yang saya maksud bukan pada saat jam pelajaran sekolah ya, tapi jam sesudah pulang sekolah. Kami biasa nongkrong bareng di sekolah sampai sore dan dilanjutkan dengan nonton film di Tunjungan Plaza, Mall yang saat itu satu2nya yang terbesar dan terlengkap di Surabaya.

Sesudah beberapa tahun kami bersama, intensitas pertemuan kami masih tinggi meski tidak sesering pada saat sekolah. Biasanya kami akan bertemu untuk merayakan hari ulang tahun masing2yang jatuh berurutan yang dimulai pada bulan September, Oktober, November dan Desember.

Pada perkembangannya kemudian, anggota kami banyak bertambah, seperti MLM kami pun mempunyai sistem seperti Member Get Member. Masing2anggota diperbolehkan untuk mengajak masuk orang luar dan menjadikan mereka sebagai anggota. Ada beberapa darah kotor (sebutan kami untuk mereka karena jiwa mereka yang tidak murni, korban film Harry Potter hihihi) yang sempat bergabung dengan kita. Ada yang bertahan dengan lama, namun ada yang hanya sambil lalu.

Tercatat ada nama2seperti Sinta Diyan CahyaniAlfia Mamane DillahRamadhan Adalah Saputra, wendi oktora, budi laksono, Sigit GuspriyadiWahyut Idris Idris, yusak lie dan andono. Bahkan pernah pada satu masa, jumlah genk kami meningkat 2x lipat hingga berjumlah 10 orang.

Jivans Club sebelum tercerai berai

Dalam perjalanannya kemudian, memang tidak mudah me-maintenance 10 hati untuk dijadikan seiya sekata. Ada sebuah peristiwa besar yang memporakporandakan kami. Dan kalian tahu itu apa?perjalanan kami ke Bromo. Lho kok bisa? Yup, jika di cerita perjalanan mereka mendaki semeru justru semakin merekatkan hubungan satu sama lain, berbeda halnya dengan perjalanan kami ke Bromo. Pasca dari bromo kami malah tercerai berai.

Saya menyalahkan EGO atas kegagalan kami. Ya, EGO. Saya menyalahkan diri saya sendiri karena tidak mampu meredam ego (salah satunya karena berat badan saya, maka saya dioper2kan dari satu motor ke motor yang lain, yang akhirnya hal itu membuat saya uring2an sepanjang perjalanan), Ikrar juga EGO nya sangat tinggi (dia begitu marah karena liburan kali ini dia begitu menderita, tidak sesuai harapan dan mimpi2nya tentang sebuah liburan), yang lain juga saya rasa sama.

Jika kami diibaratkan sebagai grup band di Indonesia, maka kami awalnya menjadi seperti JKT 48 (karena anggotanya banyak), berubah menjadi SMASH (karena anggotanya berkurang menjadi 7 org), menyusut menjadi cherrybelle (5 org), bahkan kini menjadi 3 diva (karena tinggal kami bertiga, saya, jo dan ikrar). Saya yakin kedepannya kami akan menjadi DUO MAIA (tinggal ber2) dan terakhir menjadi ROSSA (single fighter) hahahaha.

Namun sesungguhnya bukan hanya Bromo yang membuat kami tercerai berai. Pernikahan merupakan siklus hidup yang turut melibas hubungan pertemanan kami, Kesibukan dengan keluarga dan pekerjaan pun turut menjadi alasan mengapa kami sekarang jarang bersama. Hanya karena kami bertiga masih single (dan menyebut diri kami adalah parasit lajang -adaptasi novel ayu utami), maka 3 orang yang tersisa ini masih bersama. Saya, Jo dan Ikrar.

Tinggal kami bertiga

Pasca menonton film ini, saya jadi menyadari kesalahan saya yang utama (saya merasa seperti genta, sebagai inisiator karena saya kebetulan juga bergerak di bidang WO dan EO;p), jangan2, karena saya hanya mengajak mereka sampai di Bromo saja dan tidak sampai puncak semeru, makanya kami tercerai berai sampai sekarang?;p

Oh ya, satu lagi tambahannya, Soal urusan asmara, jangan salah, kami juga mengalami cinta yang membelit satu sama lain. Yang semuanya tidak berhasil dengan manis dan indah seperti dalam film itu. Tapi bukankah hidup itu memang tak seindah dalam sebuah film?

C’est La Vie (Inilah hidup sayang)

Write with love
Miss Vee

Inspired you? Please Like, Share And Comment for other people that you loved ;) 

PS : kalian dapat menikmati blog saya yang lainnya dengan mengunjungi laman di bawah ini

Supernova; Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh - Sebuah Resensi

Poster film supernova

Sore ini saya mendapat kesempatan untuk menonton film dengan salah satu sahabat terbaik saya yang pernah secara sekilas saya ceritakan dalam tulisan2saya. Guess who? Dia adalah, mba Titin Agustine. Dalam tulisan saya sebelumnya saya bercerita bahwa beliau memberikan hadiah yang sangat spesial kepada saya. Sebuah cardigan yang dibuatnya sendiri menggunakan tangan dan hatinya yang tulus.

Ketika beliau meminta saya untuk menemaninya menonton film ini, tanpa pikir panjang saya lalu mengiyakan. Ini adalah kesempatan saya untuk gantian menservisnya (bahasa saya) . Selain itu, film ini juga merupakan film yang memang ingin saya tonton sebenarnya namun belum menemukan waktu yang pas dan cocok. Jadi tawaran yang diberikan mba agustin bagi saya seperti peribahasa sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlewati

Film yang saya tonton berjudul Supernova; Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama dan ditulis oleh Dewi Lestari, Penyanyi yang dulu tergabung dalam trio RSD (Rida, Sita, Dewi) dan menggunakan nama pena ‘dee’.

Bagi pecinta buku, utamanya novel berkualitas, tentu pernah membaca atau minimal tahu tentang buku tersebut dan jalan ceritanya. Buku tersebut rencananya dibuat sebagai saptalogi (bahasa lain untuk 7 kisah yang terpisah namun saling berkaitan) oleh penulisnya. Saat ini dee baru merampungkan sekitar 5 judul dan kurang 2 kisah lagi. Ke tujuh kisah tersebut dilabeli dengan judul yang berbeda namun memiliki benang yang sama yaitu Supernova.

Tercatat kelima buku tersebut adalah :
1. Supernova; Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh
2. Supernova; Akar
3. Supernova; Petir
4. Supernova; Partikel
5. Supernova; Gelombang ( baru saja terbit )

Jika melihat kelima judul buku tersebut, maka orang awam pun tahu bahwa film ini dibuat dari adaptasi novel yang pertama. Sekarang memang lagi trend di dunia perfilman Indonesia membuat film berdasarkan buku yang best seller. Tercatat yang paling laris seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan yang paling booming adalah kisah cinta Ainun dan Habibie yang diangkat dari biografi Habibie yang dibuat pasca meninggalnya ibu Ainun.

Para produser film itu seakan mengakomodir jiwa masyarakat Indonesia yang suka latah meniru segala sesuatu yang tengah laku dan laris manis di pasaran. Tanpa perlu bersusah payah untuk memberikan judul lain agar tampak kreatif, mereka alih2malah menggunakan nama yang sama persis dengan judul bukunya. Mungkin para produser itu berpikir itu salah satu upaya untuk mendongkrak minat masyarakat untuk menonton film itu, juga asumsi bahwa jika buku yang dicetak best seller, maka secara otomatis filmnya sudah pasti bagus.

Padahal tidak semuanya begitu. Lihat saja film karya sutradara Herdanius Larobu yang mengangkat kisah Raditya Dika, mengambil dari salah satu novel larisnya Manusia Setengah Salmon. Menurut saya filmnya tidak sebagus novelnya karena sang sutradara tidak berhasil memvisualisasikan tulisan Radit kedalam sinematografi.

Namun lain halnya dengan Rizal Mantovani. Sutradara ini yang satu ini karyanya selalu layak diacungi jempol dan mengundang decak kagum bagi pecinta film Indonesia. Bagaimana tidak, dia selalu bisa menterjemahkan secara apik tulisan sang pengarang dan mengangkatnya kelayar lebar dengan sangat extravaganza.

Tercatat karyanya terakhir, yang pernah saya resensi dalam catatan saya sebelumnya, yaitu film 5 cm, begitu menggugah, setidaknya bagi saya. Kali ini dia, berusaha mengulang sukses yang sama. Mengapa demikian? sebelum saya menjawabnya, ijinkan saya untuk mengisahkan terlebih dahulu apa yang saya lihat pada layar lebar tadi dalam bentuk tulisan.

Bagi yang sudah pernah membaca bukunya, harap bersabar jika ternyata dalam penjelasan saya tampak kurang memuaskan, karena bagaimanapun juga saya hanya berusaha menuliskan kesan yang menempel kuat dalam benak saya selama saya menonton dan pasca menonton film tersebut.

************************************
And So The Story Goes…….

Alkisah, ada 2 laki2yang kuliah di luar negeri. Mereka adalah Reuben (Arifin Putra) dan Dimas (Hamish Daud). Mereka bertemu secara tidak sengaja di sebuah taman duduk di tepi pantai. Entah mengapa, Dimas merasa tertarik dan langsung mengundang Reuben untuk datang ke pesta salah satu temannya pada malam harinya. Dan entah kenapa pula, Reuben yang bahkan baru pertama kali bertemu dengan Dimas menyanggupinya.

Pada pesta itu ada yang memberi mereka obat untuk nge-high (mohon maaf kalo istilah saya tentang narkoba keliru, harap maklum saya belum pernah bersentuhan dengan obat2an terlarang selama masa hidup saya . Mereka fly sekaligus seperti berkontemplasi pada waktu bersamaan. Dan dalam keadaan mabok, akhirnya mereka mengikrarkan diri, bahwa 10 tahun mendatang, mereka harus membuat sebuah karya yang masterpiece.

Sepuluh tahun berlalu dan mereka kembali bersama. Mereka sepakat untuk membuat sebuah karya tulis. Sebuah novel yang memadukan antara roman dan science. Hal tersebut sesuai dengan background mereka yang memang bertolak belakang satu sama lain namun bisa disatukan. Dimas adalah mahasiswa lulusan sastra inggris dan Reuben adalah mahasiswa lulusan fakultas kedokteran.

Mereka mulai mereka tokoh2nya, karakter2nya, alur ceritanya, dll hingga sedetil mungkin. Disepakatilah sebuah kisah yang mereka beri judul Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Ksatria (Herjunot Ali) yang diberi nama Ferre digambarkan sebagai sesosok pribadi yang sangat sukses dalam karir yang dirintisnya dari bawah. Putri (Raline Shah) yang diberi nama Rara adalah sesosok wanita cantik yang memiliki kehidupan yang sempurna dimata orang lain. Dia ayu, menawan, menikah dengan pria sukses, memiliki karir kerja sebagai wakil pemred di sebuah majalah kenamaan di pseudo Jakarta (lokasi yang mereka pilih untuk cerita itu).

Takdir mempertemukan mereka berdua dalam sebuah sesi wawancara mendadak yang dilakukan karena Ferre baru memutuskan untuk menerima permohonan interview majalah Rara di detik2terakhir. Awalnya ferre hanya memberikan rara waktu 1 jam 15 menit untuk mewawancarainya. Namun semua berubah saat percakapan mulai dibuka. Ferre begitu terpukau oleh Rara. Jadwal wawancara yang semestinya hanya 75 menit, molor hingga acara makan siang.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Rara. Dia merasakan, seakan dia baru tersadar bahwa laki2yang rencananya hanya akan diwawancarainya, telah mampu tidak hanya mencuri, namun juga mengambil seluruh hati dan cintanya sehingga tidak tersisa untuk suaminya Aswin (Fedi Nuril). Rara yang pada saat bertemu dengan Ferre memang tengah merasakan kebosanan dalam kehidupan rumah tangganya semakin merasa tertekan, gundah dan bingung dengan hadirnya Ferre.

Rara disatu sisi sangat menikmati hubungan rahasia yang dia bangun dengan ferre. Dari interview itu mereka lanjutkan ke makan malam, hingga bepergian bersama berdua. Rara merasa mabuk kepayang. Rara dan Ferre masing2merasa, mereka telah menemukan belahan jiwanya. Pasangan hatinya. Kepingan puzzle yang melengkapi hidupnya.

Disisi lain, tidak mudah untuk melepaskan tali ikatan pernikahan dengan Aswin. Karena pernikahan keduanya layaknya pernikahan dua keluarga besar. Yang sudah terjalin erat dan sulit sekali mengurainya. Konflik ini yang membayangi rara di sepanjang cerita.

Ferre dan Rara

Dimas dan Reuben tidak cukup puas membuat konflik yang dirasakan oleh tokoh2mereka. Mereka menciptakan satu lagi karakter. Sesosok wanita, yang extra ordinary. Luar biasa cerdas, luar biasa kaya dan luar biasa bebas. Dia adalah sosok yang tidak bisa dikekang. Dimas dan Reuben sengaja membuat paradoks kehidupan dengan menjadikan Tokoh Bintang Jatuh (Paula Verhoeven) yang mereka beri nama Diva, dengan memberinya pekerjaan sebagai peragawati/model sekaligus pelacur papan atas.

Diva yang mereka ciptakan adalah orang ketiga yang berfungsi sebagai penonton sekaligus penyeimbang tokoh2lainnya. Dan meski diakhir kisah peran Diva ternyata sangat signifikan, itu tentu keahlian sang sutradara untuk menyembunyikan kenyataan tersebut.

Bagaimana endingnya? Siapa akhirnya yang dipilih oleh Rara? Apakah ferre atau Aswin? Lalu apa atau siapa supernova itu? Seperti tulisan resensi sebelumnya, saya pun tidak mau memberitahukannya. Silahkan menonton sendiri di bioskop2terdekat kesayangan anda (iklan banget ;p). Karena sebagai sesama penikmat film sejati, saya juga tidak suka mengetahui ending cerita jika saya belum menonton filmnya. Kesannya gimana gitu ;p. Rasanya seperti ada yang mengganjal di hati.

***************************
Nah, kembali ke pertanyaan yang saya munculkan diatas. Mengapa kesannya rizal mantovani seakan ingin mengulang suksesnya film 5 cm, garapan film sebelumnya?

Jika kalian semua cermati, nama2pemain selain hamish daud, arifin putra dan paula verhoeven, adalah nama2pemain dalam film 5 cm, dan dengan pemilihan tokoh yang sama, minus saykoji dan denny sumargo. Maksud saya bukan secara pemilihan karakternya, namun padu padan tokohnya. Dalam film 5 cm, pada akhir cerita, herjunot ali berpasangan dengan raline shah meski sepanjang kisah, penonton seakan disuguhi cerita bahwa ada perasaan khusus antara raline shah dan fedi nuril. Film ini memang dijadikan semacam ajang reuni antar pemain 5 cm. Sebagai band pembawa sountrack film ini pun, mereka kembali mempercayakan kepada grup band Nidji, dengan arasemen lagu dan lirik2yang hampir mirip dengan film 5 cm itu.

Para Pemain Supernova

Meski demikian, hal tersebut tidak mengurangi keapikan film tersebut. Saya sangat menyarankan kalian untuk menonton di bioskop dan tidak menyarankan untuk melihat dari hasil download ilegal apalagi dari dvd/vcd bajakan. Kenapa? karena kalian akan melewatkan bagian terbaik dari film ini yaitu musik pengiring kisahnya. Saya tidak sedang membicarakan sountrack lagunya ya, tapi musik instrumentalia yang menurut saya sangat grande sekali. Megah, menggelegar, menyayat dan menggugah jiwa, dan kata2lain yang tidak bisa saya temukan untuk melukiskan betapa istimewanya instrumentalia yang berada di sepanjang kisah itu. Kepala, badan dan jiwa saya seakan2ikut terentak dan bergerak seiring dengan irama lagu itu berkumandang.

Kesan saya lainnya tentang kehebatan Rizal Mantovani selain tata suaranya terletak pada tata gambarnya. Apik sekali. Dia mampu mengambil gambar dari jarak yang sangat jauh maupun dari jarak sangat dekat dengan sedemikian bagusnya. Dia bisa menyorot pantai yang sedemikian jauh dan luasnya dengan kualitas yang sama seperti saat dia menzoom pengambilan gambar melalui mata salah satu tokohnya. Spot2lokasi syutingnya juga sangat WOW. Dari mulai kantor Ferre atau Rara, Kapal Pesiar, Rumah Keduanya, benar2seperti iklan2real estate

Belum lagi animasi yang digabungkan dalam film ini. Bagaimana effect2dari teknologi komputer mampu dia hidupkan menjadi sesuatu yang tampak seakan benar2nyata. Bagaimana kupu2hasil animasi mampu terbang seakan benar2hidup dan menyatu dengan gambar hasil syuting. Semuanya benar2acung banyak jempol untuk sang sutradara. Saya juga salut penggunaan animasi dengan busana tradisional batik untuk kisah yang diceritakan ferre kepada rara. Begitu tradisional namun tetap menawan.

Dan meskipun saya yakin pembuatan film ini adalah keberhasilan dari semua pihak yang mendukung pada bagian masing2, namun saya merasa bahwa sang pemimpinlah yang memegang ujung tombak yang menentukan berhasil tidaknya sebuah film dibuat. Dia haruslah seseorang yang memiliki cita rasa seni yang cukup tinggi sehingga mampu meramu semua kelebihan timnya menjadi sebuah kisah yang sangat sangat enak untuk ditonton.

Namun rizal mantovani tetap seorang manusia. Hasil karyanya tidak luput dari hal2yang menurut saya mengganggu mata. Yang paling utama adalah, tentu saja, saya sangat tidak rela saat dia menjadikan hamish daud dan arifin putra sebagai sepasang kekasih gay. Keduanya adalah tokoh pujaan saya karena kegantengannya.

Saya mengenal dan mulai tertarik dengan Arifin Putra saat dia beradu akting dengan Marcella Zalianty dalam film Batas. Saya bahkan sempat jeles saat tahu ternyata Arifin Putra berpasangan dengan Tara Basro (menurutku mereka tidak serasi ;p). Untuk Hamish Daud, saya mengenalnya melalui acaranya di salah satu stasiun televisi terkemuka di Indonesia. Nama program acara yang dibawakannya adalah My Trip My Adventure. Dan bahkan pada episode hari Sabtu kemarin saat dia pulang kampung di rumahnya di Sumba Timur, saya juga sempet jeles melihat kebersamaan Hamish dengan Nadine candrawinata yang sepertinya lebih dari sekedar teman.

Tokoh Ferre menurutku juga ga cocok diperankan oleh Herjunot Ali. Sepertinya dia kurang jantan. Dan dalam kehidupan nyata, menurut rumor yang beredar dari para wartawan gosip, Herjunotlah yang sesungguhnya gay. Lalu kenapa lantas dia yang harus jadi laki2gagah dan sukses? saya merasa bahwa cocoknya seharusnya yang jadi Ferre sang pria sukses adalah Fedi Nuril, atau Hamish Daud atau Arifin Putra atau siapapun asal bukan Herjunot Ali. Saya tidak sedang meng - under estimate - kemampuan berakting Junot, tapi menurutku penampakan fisiknya sama sekali tidak mendukung. Dia memiliki gestur yang agak melambai.

Untuk pemeran tokoh Diva pun menurut saya tidak cocok diperankan oleh Paula Verhoeven. Kenapa? karena menurut saya meskipun tampak dia berusaha keras untuk berakting judes, namun kesan itu tidak sampai kepada penonton, atau setidaknya saya. Okelah dia memang cantik dan memiliki kaki yang sangat panjang dan mulus, namun saya bahkan memiliki daftar nama2artis yang (menurut saya) lebih cocok memerankan tokoh Diva.

Sebut saja nama Catherine Wilson atau biasa dipanggil keket, atau Indah Kalalo. Dua peragawati itu selain cantik juga mereka memiliki paras judes, sombong, angkuh secara alami. Sehingga saya yakin tidak perlu berakting maksimal pun kesan itu akan sampai kepada penonton. Kesan itu sesuai sekali dengan karakter Diva. Jika kurang puas dengan dua nama itu dan ingin menonjolkan kesan tentang seorang yang blasteran dengan logat atau dialek ala2Cinta Laura, maka saya membayangkan peragawati senior Donna Harun cocok sekali memainkan peran itu.

Dan sebagai penonton yang sudah membaca bukunya, saya merasakan antiklimaks yang berkali kali. Saat saya merasa bahwa seharusnya cerita itu berakhir atau selesai alias buyar, alih2demikian malah diperpanjang lagi. Tercatat ada sekitar 3 atau 4 kali antiklimaks yang dibuat oleh Rizal. Efek yang ditimbulkannya, saya merasa capek menontonnya dan mulai berharap, mana endingnya, mana akhir ceritanya, kok gak selesai2sih filmnya. Dan memang betapa kagetnya saya saat tahu durasi film itu. 2 jam. Ekspektasi saya biasanya kan film2Indonesia itu cuma 1.5 jam saja. Euh memang benar2istimewa film satu ini

Hal yang mengganggu lainnya adalah perilaku penonton. Termasuk perilaku saya juga. Karena saya diserang radang tenggorokan makanya hampir sepanjang pemutaran film itu saya selalu batuk2. Saya sadar diri, bahwa perilaku saya ini sebenarnya sangat mengganggu orang2disekitar saya. Saya yakin itu. Namun meskipun telah saya tahan sedemikian rupa, saya menyerah pada keadaan dan terbatuk batuk terus.

Sementara untuk perilaku penonton yang lain, saya yakin sebagian besar mereka belum membaca bukunya karena rata2penontonnya adalah anak ABG alay yang pasti malas membaca. Saya yakin mereka begitu stressnya dengan pelaksanaan kurikulum 2013 sehingga tidak memiliki waktu untuk membaca karya2bermutu dari penulis2Indonesia. Dan itu tercermin dari perilaku mereka. Mereka sering sekali mentertawakan sesuatu yang menurut saya tidak lucu. Mereka tertawa saat Dimas dan Reuben mengikrarkan diri sebagai gay (mungkin dilingkungan sekitar mereka tidak pernah berinteraksi dengan para gay ya?) atau saat adegan ranjang antara Rara dan Aswin yang tidak ada apa2nya (seakan mereka belum pernah nonton film biru saja)

But overall, this movie is awesome. Very recommended movie. Kalo ada yang mau ngajak saya nonton film ini untuk kedua kalinya saya juga tetep mau kok (itu kode buat yang mau menarik perhatian saya, hahahaha)

Write with love
Miss Vee

Inspired you? Please Like, Share And Comment for other people that you loved ;) 

PS : kalian dapat menikmati blog saya yang lainnya dengan mengunjungi laman di bawah ini